Ceritaku absurd untuk diketahui mereka. Tapi bukan itu inti tujuannya, hanya ingin bercengkrama pada hati yang bermuara. 19 tahun usiaku, sadar atau tidak, indah kasihmu perlahan harus bertepi. Diganti dengan gundahnya gugusan bintang, tentang sua kedewasaan yang mulai terpaku pada citaku.
Jika ada lebih dari satu pilihan. Aku ingin lancang, memilihmu untuk tetap singgah di hadapanku kala fajar terbangun hingga senja merenggut, dan aku tetap menjadi putri kecilmu. Terkadang aku membenci waktu, ketika rinduku tak bertepi sedangkan waktu menutup izinku untuk bertemu denganmu.
Jauh darimu, Itu mimpi burukku. Dan untuk saat ini, ragaku bertarung untuk menjadi juara. Hingga saatnya waktu memberiku bingkisan ruang kembali padamu. Ruang akan luapan samudra rindu yang terpendam. Aku rindu, sangat rindu.
Kau bait puisi hati.
Kala rinduku tak berujung.
Sejuk, bak empun pagi.
Kau bebaskan dahaga kemarau hati.
Kaulah matahari sekaligus samudra
Tempat hatiku bermuara
Kau selaksa bunga, yang warnai musim semiku
Dan kau menolak gundah singgah dalam diriku.
Sehingga begitu banyak cerah yang kau beri.
Terima Kasih IBU. Aku terlalu rindu.

